Ini kisahku, ceritaku dengan pejuang yang masih tersisa.
Ketiga teman rekan kerja yang sekaligus layaknya saudara bisa jadi pelampiasan segala perkara, setiap hari bertatap muka, saling memuji dan kadang mencela. Entah kenapa bawaan sifat tomboyku dari kecil mungkin sehingga membuat aku lebih cepat akrab dan lebih banyak punya teman-teman laki-laki dibandingkan perempuan. Ataukah mungkin karena sudah tidak ada perempuan lain yang tersisa ditempat ini?
Sebut saja Mas Latief, wong Bantul, wajah jawa tulennya jelas terlihat. Tubuh tidak terlalu tinggi dan dengan perut gendutnya yang semakin hari kian menonjol sering menjadi bahan obrolan kami, namun dengan gaya santai orangnya serta kepintarannya dalam membanyol seharusnya dia cocok untuk menggantikan acara Srimulat. Mungkin kalau dalam dunia pewayangan dia cocok jadi tokoh Bagong. Ataukah mungkin dalam dunia anak-anak cocok jadi anggota Teletubies. Bagaimanapun dia adalah pribadi yang menyenangkan.
Mas bayu, seorang pemuda yang mungkin boleh dikata secara usia sudah cukup dewasa, namun karena casing luarnya yang menarik (he..he..kayak hp aja..) sehingga terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Tapi dulu sebenarnya dia sangat culun. Pembawaannya yang tenang serta dengan tutur bahasa yang halus ditambah dengan casing luar yang menarik harusnya dengan mudah dia bisa memikat para gadis. Tapi koq belum ada satu gadispun yang tertarik ataupun yang bisa membuat dia tertarik, kami semua kadang heran. Dan sepertinya dia lebih menikmati hidup dengan pacar khayalannya serta dengan prinsip yang sudah menyatu dalam hati. Salut!. Atau jangan-jangan ada yang tak beres dengan dirinya.(..haphaphaphap..pizz!..)
Mas Angga, Jogja asli namun sepintas dari parasnya terlihat sedikit ada campuran etnis Tionghoa, karena kulitnya yang putih ditambah dengan mata yang sipit dan dibingkai sebuah kacamata yang tak pernah lepas dari dirinya. Saat tertawa, bisa jadi malah tidak kelihatan pupil matanya, bisa dikatakan merem, untung kami cukup setia dan tidak pernah meninggalkan dia saat tertawa. Kadang kami sering memanggilnya Koh Angga. Sedikit pendiam dan misterius. Tidak lebih tinggi dibandingkan aku, bisa dikatakan paling kecil dibandingkan kami semua, tapi mungkin paling imut sendiri.
Terakhir aku, yang tak pernah tahu apa yang menjadi kelebihanku, mungkin lebih banyak kelemahannya. Jelas paling lemah, karena aku wanita sendiri (he..he..he..). Dan karena itu aku sering medapat prioritas utama. Hal yang paling sering yang aku lakukan adalah memanggil mereka semua dengan sebutan ”Oom”. Bersama merekalah aku mencoba menghabiskan akhir pekan yang kebetulan bertepatan dengan hari Valentine. Yaah..mungkin tak ada bedanya antara hari valentine dengan hari-hari biasanya. Aku dan mereka semua tiada pasangan disini..sendiri.
Jogja hari ini cerah. Padahal seringnya adalah hujan seharian megguyur dari malam kembali ke malam. Planning yang dibuat teman-teman untuk sejenak bersantai sejenak melepaskan segala pikiran dan kepenatan menjadikan Paris van Java alias pantai Parang Tritis sebagai tempat yang paling mudah untuk dijangkau. Ini bukan touring tapi piknik dengan segala macam perbekalan makanan. Mas Bayu mengatakan ini adalah acara makan yang pindah lokasi saja. Memang sudah dari siang dia mengincar perbekalan yang sudah aku persiapkan untuk kami semua. Dan aku berusaha mempertahankan mati-matian agar tidak berkurang sedikitpun olehnya. Iring-iringan kecil ini sengaja berangkat sore jam 16.00 agar sesampainya disana bertepatan dengan sunset. Kamera fotografer yang beratnya lebih dari 3 kg tidak lupa kami bawa sekalian untuk mengabadikan kisah ini. Terlihat Mas Latief yang sedang membonceng terlihat seperti kura-kura ninja ditambah lagi dengan tas ransel yang disandang Mas Bayu menjadikan mereka seolah-olah dua kura-kura ninja yang kompak. Aku sendiri membonceng Mas Angga, dengan cara mengendarai motor yang sering membuatku sport jantung.
Hal pertama yang dilakukan sesampainya disana adalah membuka perbekalan, dan siapakah pelaku utamanya? Jelas sudah. Ada air mineral 2 botol besar, roti isi coklat pisang, crakers dari segala merk, biskuit, wafers dan juga tambahan arem-arem yang kami beli dari penjual yang mengampiri kami di pantai. Tentu makanan tersebut memang tidak mampu kami habiskan semua karena jumlah kami hanya empat. Memang akhirnya sebagian kami bawa pulang lagi. Obrolan santai dan ringan menjadi iringan untuk menikmati makanan ini.
Tiba-tiba mas latief dengan tergesa mengeluarkan kamera yang sudah dibawa, ternyata dia melihat Tuan putri yang sedang menunggang kuda.
Oh..itu bukan Tuan putri, tapi lebih tepatnya adalah seorang turis asing yang kebetulan juga sedang mengunjungi pantai ini. Tubuhnya terlihat menarik dengan tank top warna merah menyala di padu padan hot pants, berkacamata coklat yang sama coklatnya dengan warna rambutnya yang keemasan terurai panjang. Sungguh cantik sekali, sinar senja membuat putih kulitnya semakin terlihat bercahaya. Gadis cantik sedang menunggang kuda, tentu ini jadi sebuah obyek gambar yang bagus. Dasar mas Latief, lagaknya memang kayak fotografer prefesioanal mengambil sana-sini dari berbagai sudut pandang dan bahkan mendekati turis tersebut untuk lebih dekat lagi dalam memotret. Yaah..ini boleh dikata ini pemandangan yang luar biasa sekalian cuci mata.
Dan entah bagaimana caranya, kuda yang ditunggangi sang turis itu sekarang malah berganti penunggangnya. Terlihat mas Latief layaknya seorang punggawa kerajaan yang maju perang dengan sorban yang diikatkan dikepalanya, minta untuk difoto. Ditambah lagi tingkah mas Angga yang seperti Kapten Tsubasa menendang bola yang tiba-tiba ditemukan di pantai ini. Tapi kenapa mas Bayu terlihat melamun saja.
Sejenak aku menyingkir dari mereka semua, menepi ke bibir pantai, memandang ke lautan lepas tanpa ada batas selain cakrawala. Diam, dengan mata terpejam kuresapi suasana senja ini. Sepoi angin seakan mengelusku lembut. Suara Debur ombak di depanku seakan memberitahukan bahwa aku tak sendiri. Kupandang mereka yang saling berkejaran untuk mencapai bibir pantai, dalam batas anganku aku berpikir, mungkinkah ombak-ombak ini suatu hari nanti akan merasa lelah untuk menjumpai pantai. Diibaratkan sebuah pasangan, ombak dan pantai adalah pasangan yang tak terpisahkan, sejauh apapun sang ombak pergi pasti akan kembali menjumpai pantai. Aku mencoba menikmati semuanya ini, meski masing-masing dari kami mempunyai kekhawatiran sendiri-sendiri. Melepaskan segala beban pikiran yang menguasai diri mseki hanya sementara. Bisa dikatakan suatu hari nanti ini akan jadi kisah klasik untuk dikenang kisah sekaligus perpisahan yang tersirat. Entah siapa nanti yang akan memulainya lebih dulu, aku tak tahu.
Senja yang berganti malam memaksa kami untuk meninggalkan pantai ini. Tidak sampai disini saja, perut kami masing-masing mulai berbunyi meminta kami untuk menemukan tempat yang nyaman buat makan dan melanjutkan obrolan.
Suasana malam tempat makan yang temaram dibawah cahaya lampu yang berwarna kuning keemasan, sebenarnya sangat romantis bagi mereka yang saat ini sedang merayakan malam valentine. Lagi-lagi kami saling mengolok karena di malam valentine tak ada satupun dari kami yang mempunyai pasangan disini. Liatlah...semua hanya bisa berpangku tangan..
Sekilas catatan kecil dari kawan :
“We’re the last fighter here. And we’ll never surrender, keep our spirit facing all of the problems. Such you always say Mr MH, “Be The Winner!”. Yes, we’re here fighting for u, and u should know that, Mr! So, fight for us too.. Mr!” Whekekekekek…